Bagaimana performa dan isi blog kami ?

Total Tayangan Halaman

Kamis, 22 Desember 2011

UU NO 1 TH 74 TENTANG PERKAWINAN

1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
P E R K A W I N A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29
Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IVIMPR 1 1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik lndonesia.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
Pasal 3
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
1. Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalani Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka
ia wajib rnengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalani ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
2
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya
2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur
21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup
dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
1. Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak
tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan oranglain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal
4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 11
1. Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka waktu
tunggu.
2. Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut.
Pasal 12
Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundangundangan
tersendiri.
BA B III
PENCEGARAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat
untuk melangsungkan perkawinan.
4
Pasal 14
1. Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
2. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat
mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
1. Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
2. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
1. Pencegahan perkawinari diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
2. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenni permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh
pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh
yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya
pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan
Pasal 21
1. Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia
akan menolak melangsungkan perkawinan.
2. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.
5
3. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai
pancatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk
memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan
penolakan tersebut di atas.
4. Pengadilanakan memeriksaperkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan
tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan
dilangsungkan.
5. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat
untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang- undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus.
Pasal 24
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Pormohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal
kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
2. Hak untuk membatalkan olch suami atau isteri berdasarkan alasan
dalam ayat (1) pdsal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan
perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
6
3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isten, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Pasal 28
1. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik
sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
1. Pada waktu atau sebelum pelrkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapatmengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjiantersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batasbatas
hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
1. Suami isteri harus mempunyai tempest kediaman yang tetap.
2. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
7
Pasal 34
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukurn mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
Pasal 43
1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
1. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina
dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
2. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.
8
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya.
Pasal 47
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam
dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
(delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaankepada anak tersebut.
BAB XI
PERWALIAN
Pasal 50
1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Pasal 51
1. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan
lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari kcluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan
baik.
3. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan
kepercayaan anak itu.
4. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
9
5. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada
dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
1. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut
dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
2. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang
dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut
dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian tersebut.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pertama
Bagian Kesatu
Pembuktian asal usul anak
Pasal 55
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (l) pasal ini tidak ada, maka
Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
yang memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia.
Pasal 56
1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut, hukum
yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undangundang
ini.
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor
Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran.
Pasal 57
10
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan
Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusannya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal 60
1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas perniintaan yang berkepentingan Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.
4. Jika pengadilan memutuskan hahwa penolakan tidak beralasan maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3)
5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam
masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
2. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa
memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang
berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan
yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang- undang ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama- lamanya 1 (shtu) bulan.
3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia
mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan
tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal
59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat
Pengadilan
Pasal 63
1. Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
11
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
2. Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan
Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 66
1. Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan
Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuanketentuan
berikut :
a. Suami wajib members jaminan hidup yang sama kepada semua
isteri dan anaknya.
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi.
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang
terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
2. Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang
menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.’1933 No.
4), Peraturan Perkawinan Canipuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 67
1. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan
pelaksanaan, diatur libel lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Keatas
12
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN UMUM:
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi
berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan
berbagai daerah seperti berikut :
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama yang
telah diresipiir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak harus dapat
pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang
undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuanketentuan
Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang bersangkutan.
4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai
perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan
material.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian
yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat
dalam pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan,
seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh
pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai
persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
13
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah
bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan
laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19
(sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang
Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga
dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan
bersama oleh suami-isteri.
5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang
dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai
sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang
ada.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting.
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan
tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Pasal 2
Dengan perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasingmasing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.
Pasal 3
1. Undang-undang ini menganut asas monogami.
2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam
Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum
perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
1. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan
tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang
sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Cukup jelas.
5. Cukup jelas.
6. Cukup jelas.
14
Pasal 7
1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur
untuk perkawinan.
2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
3. Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan
harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun
isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
15
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut
ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masingmasing.
Pasal 36
Cukup jelas.
16
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan
hukum lainnya.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
1. Cukup jelas.
2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang
mernbahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
3. Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai walinikah.
17
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
18

0 komentar:

Posting Komentar